Home » » Perlukah kita ber-Tawasul ?

Perlukah kita ber-Tawasul ?

Posted by PENGAJIAN TASAWUF on Monday, March 20, 2017


Para hamba Allah yang shaleh tidak lupa dalam doanya kepada Allah s.w.t. dengan mengemukakan tawassul, yakni pendekatan bathin terhadap Allah dengan menyebutkan kemantapan ‘ubudiyahnya ter hadap Allah s.w.t.; karena itulah yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam munajatnya yang merupakan dua untaian Kalam Hikmah yang ke-271 sebagai berikut:
﴿ هَا أَنَا يَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِفَقْرِي إِلَيْكَ ، وَكَيْفَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِمَا هُوَ مُحَالٌ أَنْ يَصِلَ إِلَيْكَ
“Inilah aku bertawassul kepada Engkau dengan kefakiranku danbetapa aku bertawassul kepada Engkau dengan sesuatu yang mustahil sampainya kepada Engkau.”
Pemahaman daripada munajat ini adalah sebagai berikut:
I.     Kita selaku hamba Allah hendaklah ada sesuatu yang kita kemukakan kepada Allah sebagai jalan untuk kita mendekatkan diri kepadaNya dan mengharapkan bantuan-bantuanNya. Para hamba Allah yang shaleh sangat malu mengungkapkan kepada Allah ibadah yang mereka kerjakan dan amal-amal shaleh dalam arti yang luas. Sebab semuanya itu dalam anggapan mereka belum ada arti apa-apa, kalaulah ibadah dan amal shaleh mereka diterima Allah s.w.t. Sebab nikmat dan rahmat Allah sangat tinggi nilainya sehingga tidak mungkin dapat dibalas oleh makhluk dengan apa pun ibadah dan amal shaleh mereka. Karena itulah mereka itu sangat malu kepada Allah apabila hal keadaan itu mereka kemukakan kepada Allah. Jangan-jangan secara kasar ibadah dan amal shaleh mereka tidak diterima oleh Allah s.w.t. Na‘udzu billaahi min dzaalik.

Berdasarkan itulah satu-satunya jalan bagi mereka hamba Allah yang shaleh ialah mengemukakan kefakiran mereka, ketidak-punyaan, ketidak-kuatan dan ketidak-adanya daya apa-apa dari mereka selaku
hamba Allah terhadap kebesaran Allah yang begitu Maha Sempurna dalam segala sifat-sifat keagunganNya.

Inilah pemahaman daripada kalimat munajat di atas, di mana seolah-olahan mereka mengungkapkan dengan segala kerendahan hati sebagai berikut:
“Ya Allah, aku jadikan kefakiranku terhadap Engkau merupakan jalan pendekatan di mana aku mendapatkan kurnia di sisi Engkau pada penerimaan ibadah dan amal-amal, aku tidak mengemukakan kepadaMu ya Allah ibadah dan amal-amalku, karena semuanya itu tidak sunyi daripada kemasukan yang membawa rosak kemurniaan hubungan antara aku dan Engkau. Demikian pula dengan hal ihwalku yang tidak sunyi daripada kekotoran dan kerosakan yang mengganggu keikhlasan. ”

Dari keadaan di atas, seorang hamba Allah yang shaleh bernama Abu Hafash ditanyakan orang kepada beliau sebagai berikut:

“Dengan apakah hamba Allah yang tidak punya dalam pengertian hakiki mengemukakan sesuatu kepada Allah?” Beliau menjawab: “Tidak ada sesuatu yang dapat dikemukakan seseorang kepada Allah selain hanya Kefakirannya kepada Allah, meskipun dia memiliki mata benda duniawi yang begitu banyak.”

Seorang Wali Allah bernama Abu Yazid berkata: Aku diseru di dalam rahasia dengan seruan-seruan sebagai berikut:

“Perbendaharaan-perbendaharaan Kami dipenuhi dari berbagai macam pengkhidmatan, maka jika engkau berkehendak kepada Kami haruslah ke atas engkau mengungkapkan kehinaan dan kefakiran terhadap Kami (Allah).”

Sikap yang telah dijadikan laku oleh para Wali Allah pada hakikat-nya melaksanakan pernyataan Allah sebagai tersebut dalam surah Fathir sebagai berikut:
یٰۤاَیُّہَا   النَّاسُ اَنۡتُمُ الۡفُقَرَآءُ اِلَی اللّٰہِ ۚ وَاللّٰہُ  ہُوَ الۡغَنِیُّ  الۡحَمِیۡدُ .اِنۡ یَّشَاۡ  یُذۡہِبۡکُمۡ وَیَاۡتِ  بِخَلۡقٍ  جَدِیۡدٍ  . وَمَا  ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ  بِعَزِیۡزٍ     
“Wahai manusia, kalian itu makhluk-makhluk yang fakir kepada Allah dan Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Jika Allah berkehen-dak, maka Allah akan melenyapkan kalian dan akan mengganti dengan makhluk-makhluk yang baru. Yang demikian itu tidaklah sukar ke atas Allah.”    (Fathir: 15-17)

Sambungan munajat di atas dilanjutkan dengan kalimat yang sangat merendahkan diri para hamba Allah yang shaleh terhadap Allah. Kenapa demikian, sebab mereka mengemukakan kefakiran kepada Allah, padahal kefakiran itu adalah sifat makhluk sedangkan sifat Allah Maha Kaya lagi Maha Besar.

Maka bagaimanakah ada pertalian di antara sifat hamba dengan sifat Allah. Dan sudah barang tentu tidak akan menyentuh peng- ungkapan hamba Allah dengan menyebutkan kafakiran terhadap Allah yang Maha Kaya lagi Maha Agung. Itulah sebabnya kalimat munajat yang kedua seolah-olahnya menggambarkan dalam kalimat sebagai berikut:

“Bagaimana aku bertawassul dan mendekatkan diriku kepada Engkau dengan kefakiranku sedang kefakiranku itu mustahil ada hubungannya yang dapat sampai kepada Engkau.”

Dalam hal keadaan ini ada alasannya menurut ratio dengan contoh sebagai berikut:

Seseorang ingin menghadap raja karena hendak menyampaikan segala sesuatu kepadanya, apakah itu permohonan ataukah itu laporan, sedangkan dia adalah orang biasa. Maka untuk sampai kepada raja, haruslah ia tawassul dulu yakni mengambil perantaraan melalui Men-terinya atau orang yang begitu dekat dengan raja.

Hal keadaan ini adalah wajar dan masuk akal, oleh karena antara raja dengan rakyat biasa ada perantara yang dapat mendekatkan. Tetapi bagaimana kefakiran yang dalam munajat hamba Allah yang shaleh. Inilah yang menyebabkan adanya munajat seperti di atas.

Dalam pada itu manusia yang mengungkapkan kefakirannya kepada Allah berarti dia melihat kefakirannya itu dan dia jadikan kefakirannya itu merupakan andalan yang secara tidak langsung persandarannya dan pegangannya. Maka ini sudah terdapat sesuatu yang menghambat antara dia dengan Allah, karena keadaan yang demikian itu tidak dapat menyampaikan kepada Allah, karena Allah tidak menerima dan tidak rela keadaan yang seperti itu, karena secara tidak langsung manusia itu memperhatikan kefakirannya dan lupa kepada Allah.

Pada satu kali Abul Hasan Asy-Syazili seorang Wali Allah terkenal dalam dunia Tasawuf datang ziarah kepada gurunya Syaikh Abdus Salam bin Masyisy r.a. gurunya bertanya kepada Abul Hasan: “Wahai Abul Hasan! Dengan apakah Engkau menemui Allah?”

Abul Hasan menjawab: “Dengan kefakiranku.” Gurunya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya, jika engkau menemui Allah dengan kefakiranmu berarti engkau menemui Allah dengan patung besar. Kenapa engkau menemui Allah dengan patung?”

Dari dialog di atas berarti Syaikh Abdus Salam memberikan petunjuk (nasehat) kepada muridnya Abul Hasan Asy-Syazili supaya muridnya itu menghilangkan penglihatan bathinnya terhadap dirinya dan terhadap segala sesuatu yang dikaitkan kepada diri berupa ke- fakiran dan lain-lain.

Kalau begitu, bagaimana pendirian di atas yakni menjadikan wasilah kepada Allah dengan mengungkapkan kefakiran? Seorang pakar ilmu Tasawuf hamba Allah yang shaleh bernama

Syaikh Zaruq r.a. telah menjawab sebagai berikut:

“Bahwasanya tujuan Abul Hasan dengan mengungkapkan kefaki-ran kepada Allah adalah menghilangkan penglihatan bathin terhadap segala macam kaitan termasuk kefakiran kepada Allah dari dirinya sendiri. Hilangnya penglihatan bathin itulah yang beliau maksudkan dengan kefakiran.”

Dan kalau sudah demikian berarti dia kaya dengan Allah dari segala sesuatu. Apabila seseorang sudah kaya dengan Allah maka dia tidak menemui Allah melainkan dengan Allah.

Dan jalan yang terbaik mendekatkan diri kita kepada Allah ialah: Hendaklah bathin kita menghayati bahwa kita tidak ada apa-apanya, apa yang ada pada kita merupakan pinjaman Allah dan akan kembali kepadaNya (Allah). Mantapkanlah pegangan bathin kita dan peng- lihatan bathin kita terhadap Allah. Kebaikan yang kita dapatkan merupakan rahmat Allah dan nikmatNya. Cubaan yang kita temukan, lahiriahnya musibah, tetapi pada hakikatnya bahwa Allah ingatkan kepada kita supaya kita tidak lupa kepadaNya.

Kemudian mengadukan hal keadaan kita kepada Allah s.w.t.merupakan ‘ubudiyah dari si hamba kepada Allah. Karena di dalampeningkatan pengamalan keagamaan ada amal yang bersifat ibadah,
ada amal yang bersifat ‘ubudiyah, dan ada amal yang bersifat ‘ubudah, yakni bebas merdeka dari selain Allah. Sedangkan amal ‘ubudiyah dapat juga disebutkan dengan Amalut-thariqah dan Amalul-iman,
yakni sebuah pengamalan yang berada antara pengamalan Islam dan pengamalan Ihsan.

﴿أَمْ كَيْفَ أَشْكُوْ إِلَيْكَ حَالِي ، وَهُوَ لَايَخْفَى عَلَيْكَ . أَمْ كَيْفَ أُتَرْجِمُ لَكَ بِمَقَالِي ، وَهُوَ مِنْكَ بَرَزَ إِلَيْكَ . أَمْ كَيْفَ تُخَيِّبُ آمَالِي ، وَهِيَ قَدْ وَفَقَدْ إِلَيْكَ . أَمْ كَيْفَ لَاتُحْسِنُ أَحْوَالِي ، وَبِكَ قَامَتْ إِلَيْكَ
“Bagaimana aku mengadukan kepada Engkau hal keadaanku, padahal keadaanku itu tidak tersembunyi ke atas Engkau. Atau bagai-manakah aku terjamahkan kepada Engkau dengan perkataanku, padahal perkataanku itu datang dari Engkau, kembali kepada Engkau. Atau bagaimanakah Engkau mensia-siakan cita-citaku padahal cita-citaku itu berjalan menuju Engkau. Atau bagaimanakah Engkau tidak mem-baguskan hal keadaanku, padahal hal keadaanku itu berdiri dengan Engkau dan kembali kepada Engkau.”
Oleh karena pengertian munajat ini seperti sulit difahami, marilah kita ungkapkan pemahamannya sebagai berikut:
Kita mengadukan keadaan kita kepada Allah sepintas lalu adalah wajar dan semestinya, karena kita ini adalah hambaNya. Pada umumnya pengaduan itu adalah ditujukan kepada orang yang tidak mengetahui permasalahan yang kita adukan, sedangkan Allah s.w.t. tidak tersembunyi ke atasNya segala sesuatu. Apa faedahnya kita mengadu kepada Allah, padahal Dia telah mengetahui segala-galanya. Karena itulah Nabi Ibrahim alaihis shalatu wassalamu tidak mau mengadu kepada Allah dengan permohonan yang bagaimanapun, seperti yang diungkapkan oleh beliau:
حَسْبِي مِنْ سُؤَالِي عِلْمُهُ بِحَالِي .
“Cukuplah padaku dari mengungkapkan permohonanku, Allah me-ngetahui tentang keadaanku.”

Dalam pada itu pula ada perkataan sebagian orang begini:
لَا شَكْوَى إِلَّا بِاللهِ .
“Tidak ada pengaduan melainkan terhadap Allah.”

Menurut para Ulam Tasawuf yang Arifbillah, perkataan tersebut adalah buat orang-orang yang masih lalai, lagi yang masih terdapat dinding-dinding antara mereka dengan Allah. Kalaulah demikian, maka adalah arti mengadu kepada Allah tidak lain faedahnya selain mengungkapkan kalimah-kalimah yang didalamnya terkandung permohonan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa atas hambaNya yang hina.

Mengungkapkan isi hati kepada Allah, padahal ungkapan dengan lidah adalah datangnya dari kehendak Allah dan ditujukan pula kepada Allah. Tak lain maksudnya selain hanya melahirkan kerendahan dan kehinaan lahir dan bathin pada memohonkan sesuatu kepadaNya. Sebab ungkapan yang demikian keadaannya penuh dengan kesopanan selaku makhluk kepada Khalik. Dan tidaklah sama dengan bermohon secara terang-terangan tetapi merupakan munajat yang gambarannya seperti berdialog di mana dengannya yang bersangkutan bukanlah bermaksud menolak apa yang ditakdirkan Allah dan menarik apa yang tidak ditakdirkan olehNya. Hal keadaan ini seperti munajat-nya seorang Wali Allah yang terkenal Syaikh Abul Hasan Asy-Syazili:
وَلَا نَسْأَلُكَ دَفْعَ مَا تُرِيْدُ ، وَلٰكِنْ نَسْأَلُكَ التَّأْيِيْدَ بِرُوْحٍ مِنْ عِنْدِكَ ، كَمَا أَيَّدْتَ أَنْبِيَائَكَ وَرَسُوْلَكَ وَخَاصَّةً الصِّدِّيْقِيْنَ مِنْ خَلْقِكَ ، إِنَّكَ عَلَى كَلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ .
“Kami tidaklah bermohon kepada Engkau untuk menolak apa yangEngkau kehendaki, tetapi kami memohon kepada Engkau hendak mem-perkuat dengan kasih sayang dari sisi Engkau pada sesuatu yang Engkau kehendaki, sebagaimana Engkau telah memperkuat Nabi-nabiMu dan Rasul-rasulMu, terutama orang-orang yang benar-benar bersikap benar dan ikhlas dari makhluk-makhlukMu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala-galanya.”

Hajat dan cita-cita dari kita selaku hamba Allah, wajar kita mohonkan kepada Allah supaya berhasil, meskipun semua hajat dan cita-cita tidak mustahil diperkenankan oleh Allah, karena Dia Maha Pemurah, meskipun pada hakikatnya kita tidak berdoa dan tidak bermohon kepada Allah tetapi apabila hajat dan cita-cita itu tidak bertentangan dengan ridhaNya maka kita harus yakin hajat dan cita- cita kita itu berhasil. Maka dengan pengungkapan yang begini di mana terkandung permohonan kita kepada Allah supaya diperkenankan hajat dan cita-cita, merupakan permohonan yang begitu jitu dan
beradab.

Gambaran-gambaran munajat di atas yang sifatnya bertanya yang mengandung kekaguman atas keagungan Allah dan kebesaran-Nya dan memperlihatkan kerendahan dan kekurangan diri.

Menurut para hamba Allah yang shaleh lagi ‘Arif billah, adalah tidak wajar, karena ungkapan-ungkapan itu terkandung bahwa yang bersangkutan melihat dirinya, memperlihatkan keadaan diri dan selalu ada beserta diri. Ini adalah menutup pintu hati dan bathin dari melihat Allah s.w.t. dan ini boleh melupakan pandangan hati dan bathin ter-hadap Allah di mana tidak boleh dikaitkan padanya tersebut kepada embel-embel yang bermacam-macam. Yang tepat dan benar adalah hanya melihat Allah dan semua keadaan yang diberikan olehNya adalah bagus, karena semuanya itu dipertalikan kepada Allah.

Karena itulah kita harus bermohon kepada Allah dalam sifat munajat di atas, agar Allah membaguskan hal ihwal kita lahiriah dan bathiniah, jangan sampai terlihat oleh kita selain Allah, tetapi semua- nya yang Allah berikan kepada kita adalah baik, karena semuanya itu
diciptakan Allah dan semuanya itu akan kembali kepadaNya.

Kesimpulan:
Apabila kita menginginkan mengikuti jalan para hamba Allah yang shaleh, hendaklah kita berusaha sedikit demi sedikit menghilangkan selain Allah dan mengekalkan pandangan bathin terhadap Allah. Apa-apa yang diberikan Allah kepada kita semuanya bagus, tidak ada yang tidak bagus, karena setiapnya itu mengandung hikmah kebaikan yang apabila kita benar-benar menggalinya, maka kita akan mengakui kebenaran hikmah-hikmah itu dan pasti kita akan bersyukur kepada Allah atas limpahan Allah yang telah memberikan kepada kita sesuatu yang telah kita terima, meskipun di samping itu kita harus berikhtiar mencari dan berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik dari yang baik dan yang baik dari yang tidak baik menurut pandangan kita.

Dan jika ketentuan Allah tidak demikian, maka apa saja yang ditentukan Allah adalah baik bahkan lebih baik.

Sumber : 
Syarah Al-Hikam (Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf)
Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin M Waly Al-Khalidy 

Thanks for reading & sharing PENGAJIAN TASAWUF

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment

Loading...
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();