Manusia itu selama masih disebut manusia, yakni sebagai makhluk Allah s.w.t. yang masih berfungsi akalnya, meskipun keperluan
dunianya telah cukup ada padanya, namun ia tidak dapat melepaskan dirinya dari
Allah s.w.t. yang Maha Kaya, Maha Kuasa dan lain-lain. Karena itu, maka manusia
tak dapat tidak berhajat kepada
Allah s.w.t. Justeru itulah, maka manusia perlu berdoa kepada Allah dan me-mohonkan
segala sesuatu kepadaNya.
Bermohon
kepada Allah harus ada adab dan sopan santunnya, dimana dengannya berhasillah kita kepada tujuan hakikat dari doa itu. Adab
dan sopan santun itu sebahagian daripadanya dapat kita ikuti dalam Kalam Hikmah Ibnu Athaillah Askandary yang ke-108 sebagai berikut:
﴿ لَاتُطَالِبْ رَبَّكَ بِتَأَخُّرِ مَطْلَبِك،
وَلٰكِنْ طَالِبْ نَفْسَكَ بِتَأَخُّرِ أَدَبِك ﴾
“Janganlah anda tuntut Tuhanmu
dengan sebab lambat berhasilnya
permohonanmu. Tetapi tuntutlah dirimu dengan sebab terlambat adab sopan santunmu.”
Kalam Hikmah ini tafsirnya sebagai berikut:
Apabila kita berdoa kepada Allah s.w.t., di mana dalam
doa itu kita bermohon kepadaNya agar berhasil maksud yang kita mohonkan itu. Tetapi permohonan kita itu atau doa kita itu belum juga kelihatan diperkenankan oleh Allah. Ya, apakah yang kita mohonkan itu hal-hal yang
berhubungan dengan kebathinan, seperti mohon ditambahi ilmu pengetahuan, bertambahnya peningkatan keimanan
dan lain-lain. Ataukah hal-hal yang bersilat lahiriah seperti maksud-maksud yang bersifat dunia. Misalnya mohon sembuh dari
penyakit, beruntung dalam perniagaan dan sebagainya.
Apabila demikian keduanya, yakni masih belum kelihatan
juga doa kita itu makbul, maka hendaklah kita baikkan
sangka kita kepada Allah s.w.t. Kita tidak boleh mendebatNya, demikian juga jengkel ke-padaNya,
mengapa doa kita masih belum terkabul juga. Berprasangka yang bukan-bukan
kepada Allah adalah tidak baik. Demikian juga bermohon supaya cepat-cepat doa
kita dikabulkan olehNya. Hal keadaan ini kurang pantas bagi kita selaku
hambaNya.
Sebab Dia berbuat sekehendakNya, dan Dia tidak boleh
ditanyakan
kenapa kehendakNya begitu dan kenapa perbuatanNya begitu. Tetapi yang harus
kita selidiki ialah diri kita sendiri, apa sebabnya maka ber-laku seperti itu. Mungkin diri kita kesopanannya
kepada Allah s.w.t sangat
kurang, bahkan tidak ada sama sekali. Oleh sebab itu hendaklah kita selidiki di mana kekurangan-kekurangan diri
kita. Kemungkinan kita tidak ada adab dan sopan santun
kepada Allah. Untuk itu dapat kita lihat dalam berbagai gambaran
seperti berikut:
1.
Mungkin kita berdoa itu dengan maksud supaya doa kita diperkenankan oleh Allah. Jadi kita berdoa itu karena sesuatu maksud dan tujuan. Yang begini sebenarnya adalah menandakan kurangnya adab kita kepada Allah s.w.t., sebab hal keadaan ini merusakkan ke-sempurnaan
ubudiyah kita, yakni kehambaan kita kepadaNya. Tetapi sebagusnya kita berdoa
kepada Allah itu bukanlah karena sesuatu maksud dan sesuatu tujuan. Bahkan adalah
karena didorong oleh rasa kehambaan kita kepadaNya, dan
karena melaksanakan hukum ketuha-nan, di mana selaku hambaNya harus
menyampaikan segala sesuatu kepadaNya, tanpa maksud apa-apa, sekedar
hanya menyampaikan saja dan melaporkan
kejadian-kejadian yang terjadi atas diri kita. Kita tidak perlu meminta
kepadaNya supaya Allah memperkenankan doa kita, meskipun kita perlu berdoa
kepadaNya, kita hanyalah menyerahkan semuanya kepada Allah. Allahlah yang lebih maklum atas segala sesuatu, baiknya atau tidak
baiknya. Dan tidak ada kehendakNya yang tidak baik, di samping juga
tidak ada perbuatanNya yang tidak baik dan tidak mengandung
hikmah yang baik.
2.
Hendaklah dalam i‘tikad kita, bahwa
belum tampaknya kenya-taan makbulnya doa kita itu, bukan berarti doa kita
tidak mustajab, tidak. Sekali-kali tidak! Sebab mustajabnya
sesuatu doa ada kalanya terang kita lihat sehingga
apa yang kita harapkan kepada Allah berhasil dan sampai seperti yang
kita niatkan. Tetapi di samping itu boleh jadi Allah memperkenankan doa kita
tanpa kita sedari, misalnya apa yang kita mohonkan itu menurut Allah s.w.t. tidak baik atau kurang baik,
sedangkan Allah menghendaki buat kita yang lebih baik dari itu. Oleh sebab itu
permintaan yang kita mohon kepadaNya tidak berhasil dan tidak makbul, tetapi hal
yang lainlah yang diperkenankan olehNya. Misalnya saja, kita berdoa
kepada Allah supaya diberikanNya kita kekayaan dengan harta yang banyak. Lalu Allah tidak memperkenankan apa yang kita mohonkan itu, tetapi Dia memberikan kepada kita kesehatan yang sempurna dan keberkahan dalam hidup. Ini tentu lebih baik dari kita
minta kekayaan tetapi tidak berkah, atau di samping itu kita tidak
sunyi dari sakit dan penyakitan. Atau kelihatannya doa kita itu tidak
mustajab, padahal sebenarnya makbul dan mustajab. Cuma timingnya
atau waktu berhasilnya doa yang kita mohonkan itu belum sampai waktunya, karena
belum cocok waktunya menurut Dia. Barangkali kalau diberikan sekarang, maka nikmat itu akan cepat
hilangnya dengan dicuri orang dan lain-lain sebagainya.
Maka untuk menghilangkan itu, Allah berikan nikmatNya
pada waktu yang tepat di mana jauh dari kemungkinan-kemungkinan musibah kepada hilangnya kurnia Allah s.w.t., disebabkan doa kita belum juga diperkenankan olehNya. Jika kita cepat mengambil anggapan buruk sangka kepada
Allah, berarti kita tidak beradab dan tidak bersopan santun kepadaNya.
3.
Kita merasakan seolah-olah kita itu berhak menentukan
apa yang kita mohonkan kepada Allah s.w.t. Kita mengakui, bahwa yang menentukan segala sesuatu adalah Allah s.w.t. bukan kita dan kita tidak boleh mencampuri hak Allah s.w.t. Apabila kita mencampuri hakNya berarti kita menghinaNya. Padahal kita harus merendahkan diri kita sebagai makhluk yang lemah di hadapanNya. Sebab yang Maha Berkehendak dan yang Maha Berkuasa pada menentukan dan pada menciptakan adalah Allah s.w.t.
Serahkan saja semua kejadian-kejadian yang terjadi itu
kepada Allah. Sebab segala-galanya itu adalah menurut qadar-qadha’Nya. Dalam hal ini perhatikanlah sebuah contoh supaya kita memahami masalah ini demi untuk bertambahnya keimanan kita dan kuatnya keyakinan kita.
Contoh itu ialah kejadian yang pernah terjadi pada
seorang Wali Allah bernama Thariq Ash-Shadiq, yakni Thariq yang benar. Wali Allah itu digelarkan dengan “yang benar”, karena kejadian yang benar pernah terjadi pada dirinya. Pada suatu hari ia terjatuh ke dalam sumur kosong (perigi
buta), sumur itu amat dalam sehingga ia tidak bermaya untuk melepaskan dirinya untuk naik ke atas sumur tersebut. Tidak lama kemudian lalulah di atas sumur itu serombongan orang yang mahu menunaikan haji ke Makkah. Waktu sampai dekat sumur tersebut, mereka berkata: “Kita harus menimbus sumur ini supaya orang tidak jatuh ke dalamnya.” Thariq mendengarkan percakapan mereka itu, lalu dia berkata dalam hatinya: “Jika aku orang yang betul-betul percaya kepada Allah s.w.t., aku harus memerhatikan saja dan tidak meminta bantuan kepada selainNya. Sebab itu aku harus diam.” Maka diamlah dia.
Orang-orang yang mahu menunaikan ibadat haji itu
lantas menim-bus sumur itu. Setelah ditimbus mereka terus pergi.
Maka tinggallah aku di dalam sumur itu dalam keadaan
gelap-gelita. Tetapi anehnya aku masih boleh bernafas. Tiba-tiba aku
melihat seekor ular besar. Di samping itu muncul pula dua buah lampu
bersinar sehingga teranglah dalam sumur tersebut. Ular itu berjalan ke arahku. Lantas hatiku ber-kata: “Jika aku betul-betul benar pada keyakinanku dan bukan orang yang berpura-pura, maka aku akan selamat. Pada
ketika ular itu sampai kepadaku, sangkaku ular itu ingin mematukku, padahal
kenyataannya bukan demikian. Ular itu rupanya memalingkan kepalanya untuk
naik ke atas sumur. Aku pun terangkat ke atas sumur dengan
ekornya di-lilitkan pada leherku dan kedua kakiku, laksana tangan
sang ibu yang sedang merangkul kaki dan badan anaknya.
Kemudian ular itu pun menyusur ke atas sumur dan
mengangkat timbunan yang menutup sumur itu, aku pun terangkat ke atas sumur dengan perantaraan ular tersebut. Setelah aku sampai di atas sumur,
aku mendengar suara yang aku tidak tahu dari mana datangnya. Suara itu mengatakan: “Ini adalah kasih sayang Tuhanmu di mana Dia telah melepaskan dari musuhmu dengan musuhmu.”
aku mendengar suara yang aku tidak tahu dari mana datangnya. Suara itu mengatakan: “Ini adalah kasih sayang Tuhanmu di mana Dia telah melepaskan dari musuhmu dengan musuhmu.”
Adapun maksudnya ialah Allah telah melepaskan Thariq
dari patukan ular yang berbisa yang dapat menimbulkan kematian dengan perantaraan musuh juga, yakni ular itu
sendiri, di mana dengan bantuan Allah s.w.t. melalui ular, Thariq
diselamatkan olehNya. Ini suatu bukti kepada kita bahwa apabila kita betul-betul
beradab kepada Allah dengan arti yang luas, niscaya Allah akan
menyelamatkan kita.
Kesimpulan:
Dalam bermohon kepada Allah s.w.t. kita harus berdoa
dengan beradab dan bersopan santun, baik bersifat lahiriah
maupun bersifat bathiniah. Adab yang
bersifat lahiriah ialah berdoa menghadap
kiblat dengan air sembahyang (suci daripada hadas), membaca basmalah, puji dan shalawat sesudahnya dan ditutup juga dengan shalawat, di samping tangan kita diangkat mengarah ke atas sedangkan hati kita
khusyuk dan tawadhuk.
Adab yang bersifat bathiniah pula adalah berdoa
kepada Allah s.w.t. itu adalah dengan tujuan melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepadaNya. Meskipun Dia telah mengetahui
segala-galanya. Tetapi kewajiban kita selaku hamba Allah, sebagai pertanda
bahwa kita ini makhlukNya dan hambaNya, kita harus menyampaikan dan melapor-kan
semua yang terjadi kepadaNya, meskipun laporan itu bersifat doa, yakni bersifat
memohonkan permintaan apa saja yang kita minta kepadaNya mengenai apa yang
lebih baik buat kita menurut penge-tahuanNya. Jangan sekali-kali terlintas
dalam hati kita bahwa kita berdoa itu bertujuan agar supaya Allah memperkenankan doa kita. Dan kalau tidak diperkenankan, maka kita
tidak berdoa.
Apalagi kalau kita menyangka yang tidak baik pula
kepada Allah, yaitu kita merasa jengkel kepadaNya dan lain-lain. Berkeadaan yang begini ini, adalah tidak baik dan tidak beradab sebagai kita selaku makhlukNya dan hambaNya. Cuma apabila belum kita lihat, doa kita itu makbul dan mustajab, maka hendaklah kita selidiki diri kita, apakah kita telah melaksanakan adab kita kepadaNya ataukah adab kita masih kurang dan belum sempurna. Dan kita pun harus menggali hikmah-hikmahnya. Kenapa maka belum juga kita lihat doa kita itu makbul dan mustajab.
Barangsiapa yang mengoreksi dirinya sendiri di samping
melihat hikmah-hikmah yang berhubungan antara doa dengan kenyataan, berarti orang itu adalah orang yang telah
dipredikatkan oleh Rasulullah
s.a.w., dengan “Al-Kaiyisu” yakni orang cerdik, bukan orang tolol dan bukan orang bodoh. Mudah-mudahan kita diberikan Allah s.w.t. taufiq dan hidayah ke jalan keselamatan dan kebahagiaan. Amin, ya Rabbal-‘alamin.
s.a.w., dengan “Al-Kaiyisu” yakni orang cerdik, bukan orang tolol dan bukan orang bodoh. Mudah-mudahan kita diberikan Allah s.w.t. taufiq dan hidayah ke jalan keselamatan dan kebahagiaan. Amin, ya Rabbal-‘alamin.
Sumber :
SYARAH AL-HIKAM
(Abuya Prof. Dr. Tgk. Muhibbuddin Waly Al-Khalidy)
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN TASAWUF
0 comments:
Post a Comment