Seorang Ahli Tasauf, Iblis adalah makhluk yang sangat mudah di musuhi dan ditaklukkan jika memang mereka adalah nyata, namun ada satu halangan yang dilancarkan oleh Iblis yang ulama tasauf menganggapnya sebagai bahaya paling besar yang harus ditakuti, bahkan lebih besar hadirnya wujud iblis yang bisa kita lawan, Lalu apakah bahaya yang paling terbesar tersebut ?, untuk menerangkan masalah ini maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah
Askandary telah mengemukakannya dalam Kalam Hikmahnya yang ke-106, sebagai
berikut:
﴿ لَايُخَافُ عَلَيْكَ أَنْ تَلْتَبِسَ الطُّرُقُ عَلَيْكَ، وَإِنَّمَا
يُخَافُ عَلَيْكَ مِنْ غَلَبَةِ الْهَوَى عَلَيْكَ ﴾
“Tidak
ditakuti atas anda bahwa kelirunyajalan-jalan (ubudiyah),
dan hanyasanya ditakuti karena dikerasi hawa nafsu atas anda. ”
Maksud Kalam Hikmah ini sebagai berikut:
I.
Kita dalam beribadat kepada Allah s.w.t. ialah bermaksud,
untuk menghampirkan diri dengan Allah, untuk mendapatkan keri-dhaanNya dan untuk mendapatkan penghayatan Al-Ihsan, di samping Iman dan Islam. Al-Ihsan dalam segala gerak hidup, baik dalam perbuatan-perbuatan yang bersifat ibadah atau tidak. Untuk ini banyak jalan-jalan telah diterangkan oleh agama kita, baik melalui Al-Quran, Sunnah dan Hadis Nabi, ataupun perbuatan para shahabat Nabi. Perkataan-perkataan mereka dan tuntunan-tuntunan yang dijelaskan oleh ulama-ulama seterusnya. Misalnya saja apabila kita melaksanakan taat kepada Allah s.w.t., maka kita lihat bahwa itu adalah nikmatNya atas kita. Apabila kita mengerjakan maksiat, maka agama kita menun-jukkan jalan supaya kita memohonkan keampunan Allah terhadapnya, di samping kita harus bertaubat dengan hati dan amalan untuk tidak mengulangi lagi maksiat itu. Demikian juga apabila kita diberikan nikmat olehNya, kita harus bersyukur kepadaNya, sedangkan dalam keadaan suasana bala dan cubaan, kita harus bersabar atas bala dan cubaan itu.
untuk menghampirkan diri dengan Allah, untuk mendapatkan keri-dhaanNya dan untuk mendapatkan penghayatan Al-Ihsan, di samping Iman dan Islam. Al-Ihsan dalam segala gerak hidup, baik dalam perbuatan-perbuatan yang bersifat ibadah atau tidak. Untuk ini banyak jalan-jalan telah diterangkan oleh agama kita, baik melalui Al-Quran, Sunnah dan Hadis Nabi, ataupun perbuatan para shahabat Nabi. Perkataan-perkataan mereka dan tuntunan-tuntunan yang dijelaskan oleh ulama-ulama seterusnya. Misalnya saja apabila kita melaksanakan taat kepada Allah s.w.t., maka kita lihat bahwa itu adalah nikmatNya atas kita. Apabila kita mengerjakan maksiat, maka agama kita menun-jukkan jalan supaya kita memohonkan keampunan Allah terhadapnya, di samping kita harus bertaubat dengan hati dan amalan untuk tidak mengulangi lagi maksiat itu. Demikian juga apabila kita diberikan nikmat olehNya, kita harus bersyukur kepadaNya, sedangkan dalam keadaan suasana bala dan cubaan, kita harus bersabar atas bala dan cubaan itu.
Banyak
lagi jalan-jalan kebaikan, yang semuanya itu telah di-terangkan di dalam kitab suci Al-Quran, Sunnah Rasul
dan lain-lain.
II. Dalam kita berjalan menuju kepada Allah s.w.t., yakni berjalan untuk keselamatan dunia akhirat dan untuk kebahagiaan yang abadi, sama jugalah seperti kita berjalan di
dunia menuju suatu tujuan yang kita kehendaki. Maksudnya kita tidak sunyi
dari gangguan-gangguan, yang mengganggu kita supaya kita tidak sampai kepada
maksud kita di samping diganggui oleh syaitan dan pengaruh hawa nafsu.
Berjaga-jaganya hati kita dari musuh-musuh tersebut, adalah
suatu tingkat pada membawa kita untuk dapat bergerak, berjalan menuju keridhaan Allah s.w.t. Jalan keluar agar supaya
hati kita bisa sadar, bisa jaga dan berjaga-jaga dari tipu daya
musuh-musuhnya adalah dengan selalu mendengarkan tuntunan-tuntunan agama, di samping
meng-amalkan tuntunan-tuntunan itu. Dan tentulah pula pergaulan kita harus kita batasi, yakni dengan
orang-orang yang tidak membawa kita ke jalan yang sesat. Apabila hati
kita telah jaga, telah sadar dan sudah tidak lalai lagi dari musuh-musuhnya,
pada ketika itu barulah hati kita mulai bersinar dan mengambil pelajaran dari
kebaikan-kebaikan yang dilihat, meskipun kebaikan-kebaikan itu datangnya dari
musuh-musuhnya sendiri.
Misalnya seorang Alim Tasawuf bernama: Syaqiq
Al-Balkhy, pada suatu kali beliau musafir ke suatu negeri karena
kepentingan bisnis (dagang). Pada waktu ia berada di negeri yang ia tuju itu, ia masuk sebuah gereja, sekedar untuk
melihat-lihat saja. Di dalam gereja itu ia melihat
patung-patung disembah orang. Maka ia melihat seorang anak
muda sedang menyembah patung di gereja itu. Syaqiq berkata kepadanya:
“Bahwasanya anda ada mempunyai Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Berkehendak dan
Menciptakan segala-galanya. Kena-pakah anda tidak menyembah Dia dan meninggalkan
patung-patung ini, di mana semuanya ini tidak mendatangkan apa-apa manfaat.
Pemuda
musyrik itu menjawab: “Apabila benar perkataan Tuan, karena apa Tuan harus berdagang ke negeri ini, padahal Tuhan me-nurut
kepercyaan Tuan adalah Maha Kuasa yang dapat Memberikan rezeki Tuan di negeri
Tuan sendiri?”
Syaqiq
menjawab: “Betul....betul..!” Syaqiq lantas sadar, hatinyaterbangun dan jaga, dan mulai pada saat itu ia pun kembali ke negeri-nya. Meninggalkan bisnisnya dan mengarahkan seluruh hidupnya untuk beribadat kepada Allah s.w.t. Syaqiq berkata tentang dirinya:“Dengan kembaliku kepada Allah, maka Dia telah mengayakan dakudari segala sesuatu yang aku tidak kira sama sekali.”
Maksud
Syaqiq ialah, bahwa dengan apa yang ada padanya, sudah cukup baginya, sehingga
ia sudah tidak diganggu lagi oleh waswas dunia yang selalu menjadikan manusia
tamak, loba dan haus kepada hal-hal yang bersifat dunia semata-mata, tetapi tidak
menguntungkan pada agama dan akhirat.
Contoh
tersebut di atas, adalah gambaran kepada kita bahwaapabila hati telah bersih, dan telah bercahaya dengan iman, yakin danikhlas, maka banyaklah kebaikan-kebaikan yang dapat ditangkap oleh hati, sehingga hati memaksa anggota tubuh untuk mengamalkan kebaikan-kebaikan itu. Apakah kebaikan-kebaikan itu datangnya dari orang-orang seagama atau tidak.
Kesimpulan:
Kekeliruan
manusia pada jalan-jalan kebaikan masih bisa diatasi apabila manusia mau mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasul, melalui Ulama-ulama dan guru-guru yang ahli dalam bidangnya, seperti ketentuan di atas. Tetapi apabila hati telah keliru dengan godaan hawa nafsu, maka awaslah, jangan-jangan godaan tersebut menutup segala pintu kebaikan sehingga kita buta sama sekali.
Dan
kalau mata hati telah buta melihat jalan-jalan kebaikan, maka sulitlah obatnya, terkecuali dengan taubat kepada Allah s.w.t. dan menyesal atas segala perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang kita kerjakan selama ini.
Dalam hal ini Hawa nafsulah yang menjadi musuh terbesar bagi ahli tasauf, jika ia telah sampai maka bagi seorang sufi wajib untuk menghindarinya, karena jika sekali saja kita telah berada didalamnya maka seterusnya bisa kemungkinan kita akan terus berada didalamnya. Wajarlah jika ahli tasauf berpedoman bahwa sedikit saja hawa nafsu yang dikerjakan hingga melalaikan ibadah sunnah maka hal tersebut sudah termasuk dosa besar.
Sumber :
SYARAH AL-HIKAM
(Abuya Prof. Dr. Tgk. Muhibbuddin Waly Al-Khalidy)
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN TASAWUF
0 comments:
Post a Comment