Apabila kita sudah merasakan sentuhan penghayatan
Al-lhsan, maka akan terlipatlah penglihatan kita terhadap alam ini, artinya hati kita tidak begitu terpengaruh lagi dalam melihat alam yang serba macam ini. Dengan demikian, pada umumnya manusia akan memuji kita, oleh karena melihat amal perbuatan kita dan tindak tanduk kita selaku anggota masyarakat manusia dalam kehidupan di dunia ini. bagaimanakah tanggapan kita apabila kita mendapatkan pujian dan penghormatan mereka itu terhadap kita?
Dalam hal ini yang mulia Ibnu Athaillah Askandary
telah meru-muskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-142 sebagai
berikut:
﴿ اَلنَّاسُ يَمْدَحُوْنَكَ
لِمَا يَظُنُّوْنَهُ فِيْكَ ، فَكُنْ أَنْتَ
ذَامًّا لِنَفْسِكَ لِمَا تَعْلَمُهُ مِنْهَا ﴾
“Manusia memuji anda karena sesuatu yang mereka kira
(sangka) ada pada diri anda, maka hendaklah anda
mencela diri anda, karena sesuatu yang anda dapat mengetahuinya
dari diri anda itu sendiri.”
Kalam
Hikmah ini keterangannya sebagai berikut:
Pertama : Apabila kita dipuji orang oleh karena kebaikan atau
sesuatu yang baik yang mereka lihat ada pada diri kita, maka janganlah kita tertipu dengan pujian itu, karena mereka itu tidak mengetahui hakikat diri kita sebenarnya, dan yang mengetahui hakikat diri kita itu adalah diri kita sendiri. Dari itu hendaklah kita mencela diri kita sendiri oleh karena terdapat padanya hal-hal yang tidak baik di mana orang lain tidak mengetahuinya.
Inilah sebabnya Sayidina Ali r.a. mengucapkan doa
apabila orang lain memuji beliau:
اَللهم اجْعَلْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ، وَلَا تُؤَاخِذْنَا بِمَا
يَقُوْلُوْنَ، وَاغْفِرْ لَنَا مَالَا يَعْلَمُوْنَ .
“Wahai Tuhan kami! Engkau jadikanlah pada kami lebih
baik daripada yang mereka sangka, dan janganlah Engkau tindak kami dengan apa yang mereka katakan, dan Engkau ampunilah kami apa-
apa yang mereka tidak mengetahuinya.”
Apabila pujian orang terhadap diri kita pada hal-hal
yang tidak ada pada diri kita, misalnya pujian itu terlalu berlebih-lebihan, maka hendaklah hati kita menanggapi bahwa
pujiannya itu merupakan
kebohongan atas diri kita. Pujian yang demikian itu pada hakikatnya harus mendorong
kita untuk beramal lebih giat lagi sehingga kalau boleh satu saat nanti akan
ada pada diri kita tepat dengan apa yang dipujikan itu, di samping itu kita
tidak boleh terlalu gembira dengan pujian tersebut. Tetapi sebaliknya anggaplah
itu sebagai suatu peringatan dan dorongan buat diri kita.
Imam Abu
Hanifah r.a. pernah mendengar sekelompok manusia memuji beliau, yang menyebutkan bahwa beliau apabila telah masuk malam hari, maka beliau sembahyang sampai pagi hari, padahal kenyataannya tidak demikian, sebab beliau sembahyang malam cuma setengahnya saja. Tetapi demi beliau mendengarkan pujian-pujian manusia atas dirinya itu, terpaksalah beliau benar-benar bangun sembahyang malam sepenuh waktunya, sampai pagi hari.
Kedua : Pujian orang terhadap diri kita berarti suara Tuhan
yang ampai ke telinga kita, dan ini tidak sia-sia, berdasarkan firman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ
سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ .
“....Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maba Suti Engkatt, maka peliharalah katni dari siksaan neraka.”
(Ali-Imran: 191)
Karena itu, apabila ada pujian manusia pada diri kita,
maka anggaplah itu sebagai mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah s.w.t. Dan apabila kenyataan pujiannya itu belum ada pada diri kita, usahakanlah agar kita dapat membuktikan secara hakiki atas pujian tersebut. Ingatlah! Bahwa Allah s.w.t. mencela hambaNya yang
mencintai pujian, padahal apa yang dipujikan itu sama sekali tidak ada padanya.
Bahkan dia tidak berusaha untuk mendapatkannya dengan ikhtiar yang
sungguh-sungguh dan berjuang yang meyakinkan.
Inilah maksud firman Allah dalam Al-Quran:
وَ یُحِبُّوۡنَ
اَنۡ یُّحۡمَدُوۡا بِمَا لَمۡ یَفۡعَلُوۡا فَلَا تَحۡسَبَنَّہُمۡ بِمَفَازَۃٍ
مِّنَ الۡعَذَابِ ۚ وَ لَہُمۡ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ .
“Dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatannya yang belum mereka kerjakan, jangan kau menyangka bakwa mereka terlepas dari siksaan, dan bagi mereka siksaan yang pedik.” (Ali Imran: 188)
Firman Allah ini diperkuat dengan sabda Rasulullah
s.a.w. terhadap seorang laki-laki yang berada di samping Nabi yang memuji orang lain, yang apabila orang itu mendengar pujiannya, dia akan
terlena dan lupakan diri. Nabi bersabda:
terlena dan lupakan diri. Nabi bersabda:
قَطَعْتَ
عُنُقَ صَاحِبِكَ .
“Anda
telak memancung leher
temanmu.”
Kemudian
Nabi menambah pula:
إِيَّاكُمْ وَالْمَدْحَ فَإِنَّهُ
الذَّبْحُ .
“Awaslah
anda dari pujian yang serupa itu, karena pujian yang begitu, hakikatnya laksana
menyembelih orang yang dipuji.”
Kesimpulan:
Pujian orang sayogianya kita dengar dan kita terima
dengan baik apabila pujian itu benar. Tetapi janganlah kita tertipu dengan pujian itu. Hendaklah kita melihat kepada kekurangan diri kita di mana orang
lain tidak tahu. Dan bersyukurlah
kepada Allah karena mereka telah
berbaik sangka pada kita. Dalam pada itu hendaklah kita tingkatkan
diri kita kepada yang lebih baik lagi, karena kita telah mendapat
dorongan dengan pujian tersebut.
Sumber :
Kitab Syarah Al-Hikam Ibnu Athaillah
Oleh
Abuya Syeik Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khlaidy
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN TASAWUF
0 comments:
Post a Comment